Fidyah secara bahasa adalah tebusan. Menurut istilah syariat adalah denda yang wajib ditunaikan karena meninggalkan kewajiban atau melakukan larangan. Syekh Ahmad bin Muhammad Abu al-Hasan al-Mahamili mengklasifikasi fidyah menjadi tiga bagian. Pertama, fidyah senilai satu mud. Kedua, fidyah senilai dua mud. Ketiga, fidyah dengan menyembelih dam (binatang) (Syekh Ahmad bin Muhammad Abu al-Hasan al-Mahamili, al-Lubab, hal. 186).
Dalam tulisan ini penulis akan fokus kepada fidyah yang
berkaitan dengan ibadah puasa Ramadhan. Merujuk keterangan al-Mahamili di atas,
fidyah dalam pembahasan ini masuk kategori pertama, yaitu fidyah senilai satu
mud. Kajian mengenai panduan membayar fidyah puasa setidaknya dapat dipetakan
dalam beberapa subpembahasan sebagai berikut:
Kategori Orang yang Wajib Membayar Fidyah
1. Orang tua renta
Kakek atau nenek tua
renta yang tidak sanggup lagi menjalankan puasa, tidak terkena tuntutan
berpuasa. Kewajibannya diganti dengan membayar fidyah satu mud makanan untuk
setiap hari puasa yang ditinggalkan. Batasan tidak mampu di sini adalah
sekiranya dengan dipaksakan berpuasa menimbulkan kepayahan (masyaqqah) yang
memperbolehkan tayamum. Orang dalam jenis kategori ini juga tidak terkena
tuntutan mengganti (qadha) puasa yang ditinggalkan (Syekh Zakariyya al-Anshari,
Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 428).
2. Orang sakit parah
Orang sakit parah yang tidak ada harapan sembuh dan ia tidak
sanggup berpuasa, tidak terkena tuntutan kewajiban puasa Ramadhan. Sebagai
gantinya, ia wajib membayar fidyah. Seperti orang tua renta, batasan tidak
mampu berpuasa bagi orang sakit parah adalah sekiranya mengalami kepayahan
apabila ia berpuasa, sesuai standar masyaqqah dalam bab tayamum. Orang dalam
kategori ini hanya wajib membayar fidyah, tidak ada kewajiban puasa, baik ada’
(dalam bulan Ramadhan) maupun qadha’ (di luar Ramadhan). Berbeda dengan orang sakit yang masih
diharapkan sembuh, ia tidak terkena kewajiban fidyah. Ia diperbolehkan tidak
berpuasa apabila mengalami kepayahan dengan berpuasa, namun berkewajiban
mengganti puasanya di kemudian hari (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah
al-Habib, juz 2, hal. 397).
3. Wanita hamil atau menyusui
Ibu hamil atau
wanita yang tengah menyusui, diperbolehkan meninggalkan puasa bila ia mengalami
kepayahan dengan berpuasa atau mengkhawatirkan keselamatan anak/janin yang
dikandungnya. Di kemudian hari, ia wajib mengganti puasa yang
ditinggalkan, baik karena khawatir keselamatan dirinya atau anaknya. Mengenai
kewajiban fidyah diperinci sebagai berikut:
Jika khawatir keselamatan dirinya atau dirinya beserta anak
/janinya, maka tidak ada kewajiban fidyah.
Jika hanya khawatir keselamatan anak/janinnya, maka wajib
membayar fidyah. (lihat Syekh Ibnu Qasim al-Ghuzzi, Fath al-Qarib Hamisy Qut
al-Habib al-Gharib, hal. 223).
4. Orang mati
Dalam fiqih Syafi’i, orang mati yang meninggalkan utang
puasa dibagi menjadi dua:
Pertama, orang yang tidak wajib difidyahi. Yaitu orang yang
meninggalkan puasa karena uzur dan ia tidak memiliki kesempatan untuk
mengqadha, semisal sakitnya berlanjut sampai mati. Tidak ada kewajiban apa pun
bagi ahli waris perihal puasa yang ditinggalkan mayit, baik berupa fidyah atau
puasa.
Kedua, orang yang wajib difidyahi. Yaitu orang yang
meninggalkan puasa tanpa uzur atau karena uzur namun ia menemukan waktu yang
memungkinkan untuk mengqadha puasa. Menurut qaul jadid (pendapat baru Imam
Syafi’i), wajib bagi ahli waris/wali mengeluarkan fidyah untuk mayit sebesar
satu mud makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Biaya
pembayaran fidyah diambilkan dari harta peninggalan mayit. Menurut pendapat
ini, puasa tidak boleh dilakukan dalam rangka memenuhi tanggungan mayit.
Sedangkan menurut qaul qadim (pendapat lama Imam Syafi’i), wali/ahli waris
boleh memilih di antara dua opsi, membayar fidyah atau berpuasa untuk
mayit.
Qaul qadim dalam
permasalahan ini lebih unggul daripada qaul jadid, bahkan lebih sering
difatwakan ulama, sebab didukung oleh banyak ulama ahli tarjih.
Ketentuan di atas
berlaku apabila tirkah (harta peninggalan mayit) mencukupi untuk membayar
fidyah puasa mayit, bila tirkah tidak memenuhi atau mayit tidak meninggalkan
harta sama sekali, maka tidak ada kewajiban apa pun bagi wali/ahli waris, baik
berpuasa untuk mayit atau membayar fidyah, namun hukumnya sunah (Syekh Nawawi
al-Bantani, Qut al-Habib al-Gharib, hal. 221-222).
5. Orang yang mengakhirkan qadha Ramadhan
Orang yang
menunda-nunda qadha puasa Ramadhan—padahal ia memungkinkan untuk segera mengqadha—sampai
datang Ramadhan berikutnya, maka ia berdosa dan wajib membayar fidyah satu mud
makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan. Fidyah ini
diwajibkan sebagai ganjaran atas keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan.
Berbeda dengan
orang yang tidak memungkinkan mengqadha, semisal uzur sakit atau perjalanannya
(safar) berlanjut hingga memasuki Ramadhan berikutnya, maka tidak ada kewajiban
fidyah baginya, ia hanya diwajibkan mengqadha puasa.
Menurut pendapat al-Ashah, fidyah kategori ini menjadi
berlipat ganda dengan berlalunya putaran tahun. Semisal orang punya tanggungan
qadha puasa sehari di tahun 2018, ia tidak kunjung mengqadha sampai masuk
Ramadhan tahun 2020, maka dengan berlalunya dua tahun (dua kali putaran
Ramadhan), kewajiban fidyah berlipat ganda menjadi dua mud.
Syekh Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan:
(ومن أخر قضاء رمضان مع إمكانه) بأن كان
مقيما صحيحا. (حتى دخل رمضان آخر لزمه مع القضاء لكل يوم مد) وأثم كما ذكره في شرح
المهذب وذكر فيه أنه يلزم المد بمجرد دخول رمضان، أما من لم يمكنه القضاء، بأن
استمر مسافرا أو مريضا حتى دخل رمضان فلا شيء عليه بالتأخير، لأن تأخير الأداء
بهذا العذر جائز فتأخير القضاء أولى بالجواز.
“Orang yang
mengakhirkan qadha Ramadhan padahal imkan (ada kesempatan), sekira ia mukim dan
sehat, hingga masuk Ramadhan yang lain, maka selain qadha ia wajib membayar
satu mud makanan setiap hari puasa yang ditinggalkan, dan orang tersebut
berdosa seperti yang disebutkan al-Imam al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab. Di
dalam kitab tersebut, beliau juga menyebut bahwa satu mud makanan diwajibkan
dengan masuknya bulan Ramadhan. Adapun orang yang tidak imkan mengqadha,
semisal ia senantiasa bepergian atau sakit hingga masuk Ramadhan berikutnya,
maka tidak ada kewajiban fidyah baginya dengan keterlambatan mengqadha. Sebab mengakhirkan
puasa ada’ disebabkan uzur baginya adalah boleh, maka mengakhirkan qadha tentu
lebih boleh”.
(والأصح تكرره) أي المد. (بتكرر السنين) والثاني لا يتكرر أي يكفي
المد عن كل السنين.
“Menurut pendapat al-ashah, satu mud menjadi berlipat ganda
dengan berlipatnya beberapa tahun. Menurut pendapat kedua, tidak menjadi
berlipat ganda, maksudnya cukup membayar satu mud dari beberapa tahun yang
terlewat”. (Syekh Jalaluddin al-Mahalli, Kanz al-Raghibin, juz 2, hal.
87).
Kadar dan Jenis Fidyah
Kadar dan jenis fidyah yang ditunaikan adalah satu mud
makanan pokok untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Makanan pokok bagi
mayoritas masyarakat Indonesia adalah beras. Ukuran mud bila dikonversikan ke
dalam hitungan gram adalah 675 gram atau 6,75 ons. Hal ini berpijak pada
hitungan yang masyhur, di antaranya disebutkan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili
dalam kitab al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu. Sementara menurut hitungan Syekh
Ali Jumah dalam kitab al-Makayil wa al-Mawazin al-Syar’iyyah, satu mud adalah 510
gram atau 5,10 ons.
Alokasi Fidyah
Fidyah wajib diberikan kepada fakir atau miskin, tidak
diperbolehkan untuk golongan mustahiq zakat yang lain, terlebih kepada orang
kaya. Alokasi fidyah berbeda dengan zakat, karena nash Al-Qur’an dalam konteks
fidyah hanya menyebut miskin “fa fidyatun tha‘âmu miskin” (QS al-Baqarah ayat
184). Sedangkan fakir dianalogikan dengan miskin dengan pola qiyas aulawi
(qiyas yang lebih utama), sebab kondisi fakir lebih parah daripada miskin
(Syekh Khothib al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 176).
Per satu mud
untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan merupakan ibadah yang
terpisah/independen, oleh karenanya diperbolehkan mengalokasikan beberapa mud
untuk beberapa puasa yang ditinggalkan kepada satu orang fakir/miskin. Semisal
fidyah puasa orang mati 10 hari, maka 10 mud semuanya boleh diberikan kepada
satu orang miskin.
Berbeda halnya dengan satu mud untuk jatah pembayaran fidyah
sehari, tidak diperbolehkan diberikan kepada dua orang atau lebih. Semisal
fidyah puasa wanita menyusui 1 hari, maka satu mud fidyah tidak boleh dibagi
dua untuk diberikan kepada dua orang fakir. Begitu juga, fidyah puasa ibu hamil
2 hari tidak cukup diberikan kepada 4 orang miskin. Syekh Khathib al-Syarbini menjelaskan:
(وله صرف أمداد) من الفدية (إلى شخص
واحد) لأن كل يوم عبادة مستقلة، فالأمداد بمنزلة الكفارات، بخلاف المد الواحد فإنه
لا يجوز صرفه إلى شخصين؛ لأن كل مد فدية تامة، وقد أوجب الله تعالى صرف الفدية إلى
الواحد فلا ينقص عنها
“Boleh mengalokasikan beberapa mud dari fidyah kepada satu
orang, sebab masing-masing hari adalah ibadah yang menyendiri, maka beberapa
mud diposisikan seperti beberapa kafarat, berbeda dengan satu mud (untuk
sehari), maka tidak boleh diberikan kepada dua orang, sebab setiap mud adalah
fidyah yang sempurna. Allah telah mewajibkan alokasi fidyah kepada satu orang,
sehingga tidak boleh kurang dari jumlah tersebut”. (Syekh Khothib al-Syarbini,
Mughni al-Muhtaj, juz 2, hal. 176).
Tata Cara Niat Fidyah
Fidyah adalah ibadah yang berkaitan dengan harta, sehingga
disyaratkan niat dalam pelaksanaannya seperti zakat dan kafarat. Disebutkan dalam himpunan fatwa Imam Muhammad
al-Ramli:
(سئل) هل يلزم الشيخ الهرم إذا عجز عن الصوم وأخرج الفدية النية أم لا
“Imam al-Ramli
ditanya, apakah orang tua renta yang lemah berpuasa dan mengeluarkan fidyah
wajib niat atau tidak?
(فأجاب) بأنه تلزمه النية لأن الفدية عبادة مالية كالزكاة والكفارة
فينوي بها الفدية لفطره
“Imam al-Ramli
menjawab bahwa ia wajib niat fidyah, sebab fidyah adalah ibadah harta seperti
zakat dan kafarat, maka niatkanlah mengeluarkan fidyah karena tidak berpuasa
Ramadhan” (Syekh Muhammad al-Ramli, Fatawa al-Ramli, juz 2, hal. 74).
Berikut contoh tata cara niat dalam penunaian fidyah:
● Contoh niat fidyah puasa bagi orang sakit keras dan orang
tua renta:
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ
الْفِدْيَةَ لإِفْطَارِ صَوْمِ رَمَضَانَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat mengeluarkan fidyah ini karena berbuka puasa di
bulan Ramadhan, fardlu karena Allah.”
● Contoh niat fidyah bagi wanita hamil atau menyusui:
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ
الْفِدْيَةَ عَنْ إِفْطَارِ صَوْمِ رَمَضَانَ لِلْخَوْفِ عَلَى وَلَدِيْ على
فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat
mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan berbuka puasa Ramadhan karena khawatir
keselamatan anaku, fardlu karena Allah.”
● Contoh niat fidyah puasa orang mati (dilakukan oleh
wali/ahli waris):
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ الْفِدْيَةَ عَنْ صَوْمِ رَمَضَانِ
فُلَانِ بْنِ فُلَانٍ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan puasa
Ramadhan untuk Fulan bin Fulan (disebutkan nama mayitnya), fardlu karena
Allah”.
● Contoh niat fidyah karena terlambat mengqadha puasa
Ramadhan
نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ هَذِهِ
الْفِدْيَةَ عَنْ تَأْخِيْرِ قَضَاءِ صَوْمِ رَمَضَانَ فَرْضًا لِلهِ تَعَالَى
“Aku niat mengeluarkan fidyah ini dari tanggungan
keterlambatan mengqadha puasa Ramadhan, fardlu karena Allah”. Niat fidyah boleh dilakukan saat menyerahkan
kepada fakir/miskin, saat memberikan kepada wakil atau setelah memisahkan beras
yang hendak ditunaikan sebagai fidyah. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam bab
zakat.
Waktu Mengeluarkan
Fidyah
Fidyah puasa untuk orang mati diperbolehkan dilakukan kapan
saja, tidak ada ketentuan waktu khusus dalam fiqih turats. Sedangkan fidyah
puasa bagi orang sakit keras, tua renta dan ibu hamil/menyusui diperbolehkan
dikeluarkan setelah subuh untuk setiap hari puasa, boleh juga setelah
terbenamnya matahari di malam harinya, bahkan lebih utama di permulaan malam.
Boleh juga diakhirkan di hari berikutnya atau bahkan di luar bulan
Ramadhan.
Tidak cukup
mengeluarkan fidyah sebelum Ramadhan, juga tidak sah sebelum memasuki waktu
maghrib untuk setiap hari puasa. Ringkasnya,
waktu pelaksanaan fidyah minimal sudah memasuki malam hari (terbenamnya
matahari) untuk setiap hari puasa, boleh juga dilakukan setelah waktu
tersebut. Al-Imam Muhammad al-Ramli
pernah ditanya perihal tata cara niat fidyah bagi orang tua renta sebagai
berikut:
وما كيفيتها وما كيفية إخراج الفدية هل
يتعين إخراج فدية كل يوم فيه أو يجوز إخراج فدية جميع رمضان دفعة سواء كان في أوله
أو في وسطه أو لا؟
“Bagaimana cara niat fidyah? Bagaimana cara mengeluarkan
fidyah, apakah menjadi keharusan mengeluarkan fidyah setiap hari di dalam hari
tersebut? Apakah boleh mengeluarkan fidyah keseluruhan Ramadhan dengan
sekaligus, di awal Ramadhan atau tengahnya?”.
Beliau menjawab: ويتخير في إخراجها بين تأخيرها وبين إخراج فدية
كل يوم فيه أو بعد فراغه ولا يجوز تعجيل شيء منها لما فيه من تقديمها على وجوبه
لأنه فطرة.
Ia (orang tua renta) diperkenankan memilih antara
mengakhirkan penunaian fidyah dan mengeluarkan fidyah di setiap harinya, di
dalam hari tersebut atau setelah selesainya hari tersebut. Tidak boleh
mempercepat fidyah dari waktu-waktu tersebut, sebab terdapat unsur mendahulukan
fidyah dari kewajibannya seseorang, yaitu berbuka puasa” (Syekh Muhammad
al-Ramli, Fatawa al-Ramli, juz 2, hal. 74).
Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani menjelaskan:
(ولا يجوز) للهرم والزمن ومسن اشتدت مشقة الصوم علیه وللحامل والمرضع
(تعجيل المد قبل رمضان) بل لا يجوز تعجیل فدية يوم قبل دخول ليلته، كما لا يجوز
تعجيل الزكاة لعامين. (ويجوز) التعجيل (بعد فجر كل يوم) من رمضان، بل يجوز بعد
غروب الشمس في ليلة كل يوم بل يندب في أول ليلة
“Tidak boleh bagi orang sangat tua, orang
pincang, orang berumur yang mengalami kepayahan berpuasa, ibu hamil dan ibu
menyusui, mempercepat penunaian fidyah satu mud sebelum Ramadhan, bahkan tidak
boleh mempercepat fidyah untuk hari tertentu sebelum memasuki malamnya,
sebagaimana tidak boleh mempercepat penunaian zakat untuk masa dua tahun. Boleh
mempercepat fidyah setelah terbitnya fajar pada masing-masing hari dari bulan
Ramadhan, bahkan boleh mempercepat fidyah setelah terbenamnya matahari di waktu
malam untuk setiap harinya, bahkan sunah ditunaikan di permulaan malam”. (Syekh
Nawawi al-Bantani, Qut al-Habib al-Gharib, hal. 223).
Fidyah dengan Uang
Sebagaimana penjelasan di atas, harta yang dikeluarkan untuk
fidyah disyaratkan berupa makanan pokok daerah setempat. Tidak cukup
menggunakan harta jenis lain yang bukan merupakan makanan pokok, semisal uang,
daging, tempe, dan lain-lain. Ini adalah pendapat mayorits ulama mazhab empat,
yaitu Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah.
Pendapat ini berargumen dengan nash syariat yang secara tegas
memerintahkan untuk memberi makanan pokok kepada fakir/miskin, bukan memberi
jenis lain (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuhu, juz 9,
hal. 7156). Sedangkan menurut
Hanafiyah, fidyah boleh ditunaikan dalam bentuk qimah (nominal) yang setara
dengan makanan yang dijelaskan dalam nash Al-Qur’an atau hadits, misalnya
ditunaikan dalam bentuk uang. Ulama Hanafiyyah cenderung lebih longgar memahami
teks-teks dalil agama yang mewajibkan pemberian makan kepada fakir miskin.
Menurutnya, maksud pemberian makanan untuk fakir miskin adalah memenuhi kebutuhan
mereka, dan tujuan tersebut bisa tercapai dengan membayar qimah (nominal harta)
yang sebanding dengan makanan. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa
Adillatuhu, juz 9, hal. 7156).
Konsep jenis makanan
pokok yang dinominalkan versi Hanafiyyah terbatas pada jenis-jenis makanan yang
tercantum secara eksplisit dalam hadits Nabi, yaitu kurma, al-burr
(gandum)/tepungnya, anggur, dan al-sya’ir (jerawut). Hanafiyyah tidak memakai
standar makanan pokok sesuai daerah masing-masing. Adapun kadarnya adalah satu sha’ untuk jenis
kurma, jerawut, dan anggur (menurut sebagian pendapat, kadarnya anggur adalah
setengah sha’). Sedangkan gandum atau tepungnya adalah setengah sha’ untuk
setiap hari puasa yang ditinggalkan.
Ringkasnya, ketentuan kadar, jenis dan kebolehan menunaikan
qimah dalam fidyah menurut perspektif Hanafiyah sama dengan ketentuan dalam bab
zakat fitrah (Syekh Ahmad bin Muhammad al-Thahthawi al-Hanafi, Hasyiyah ‘ala
Maraqil Falah, hal. 688). Ukuran satu
sha’ menurut Hanafiyyah menurut hitungan versi Syekh Ali Jum’ah dan Muhammad
Hasan adalah 3,25 kg, berarti setengah sha’ adalah 1,625 kg. Sedangkan menurut
hitungan versi Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqih al-Islami adalah 3,8 kg,
berarti setengah sha’ adalah 1,9 kg.
Dengan demikian,
cara menunaikan fidyah dengan uang versi Hanafiyyah adalah nominal uang yang
sebanding dengan harga kurma, anggur atau jerawut, seberat satu sha’ (3,8 kg
atau 3,25 kg) untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya berlaku
kelipatan puasa yang ditinggalkan. Bisa juga memakai nominal gandum atau
tepungnya seberat setengah sha’ (1,9 kg atau 1,625 kg) untuk per hari puasa
yang ditinggalkan, selebihnya berlaku kelipatan puasa yang ditinggalkan.
Demikianlah mengenai panduan membayar fidyah puasa. Semoga bermanfaat. Ustadz M. Mubasysyarum Bih, Dewan Pembina Pondok Pesantren Raudlatul Quran, Geyongan, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat. Dipost ulang melalui sumber : Panduan Lengkap Membayar Fidyah Puasa: Cara, Niat, Takaran, hingga Penyaluran (nu.or.id)