Sayyidina Umar bin Khattab ra, khalifah kedua yang meneruskan estafet Rasulullah saw setelah Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq, pernah mengatakan, “Hisablah diri kalian sebelum dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang dan berhiaslah untuk menghadapi hari penampakan yang agung.” (Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Beirut, Darul Ma’rifah, tanpa tahun], juz IV, halaman 396). Nasihat dan ungkapan di atas menjadi sangat penting untuk diingat kembali sekaligus menjadi bahan intropeksi untuk diri sendiri selama satu tahun, mengingat tahun baru beberapa hari lagi akan datang untuk menggantikan tahun sebelumnya, sementara tahun saat ini akan segera menghilang.
Momentum Tahun Baru
Tahun baru menjadi salah satu momentum bagi semua masyarakat untuk merayakannya dengan beragam cara di setiap penghujung tahun. Misalnya, cahaya kembang api selalu berbinar dan bertaburan seolah menjelma menjadi sebuah “keharusan” sebagai hajatan akbar yang berspektrum internasional. Tak terkecuali di Indonesia, gegap gempita dengan beragam selebrasi akan mudah ditemukan hingga ke pelosok desa. Semua ikut merayakannya, tanpa peduli mana yang muda dan yang sudah tua. Untuk merayakan tahun baru, ada banyak cara yang digelar oleh masyarakat Indonesia sebagai bangsa yang begitu plural untuk menyambut pergantian tahun ini, umat Islam misalnya, sebagian dari mereka ada yang menyambut tahun baru dengan acara yang menurutnya lebih sejuk, yaitu dengan menggelar acara zikir, istighasah bersama pada malam itu.
Selain itu, mereka juga bertafakkur, merenungi, dan mengoreksi semua yang telah dilakukan pada hari-hari kemarin dan apa yang mesti direncanakan tahun depan. Hal ini menjadi hal penting yang tidak boleh ditinggalkan guna memperbaiki tahun selanjutnya. Sebagaimana pesan dan nasihat Sayyidina Umar di atas, tentu saja kegiatan seperti itu sangat baik dan dianjurkan. Sebab, dalam muhasabah (intropeksi), seseorang sedang mengoreksi dirinya perihal apa saja yang mereka lakukan selama satu tahun. Mereka juga “membaca” perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam mengisi hidup dalam setiap harinya. Akan tetapi, selain dilakukan di acara tahunan, intropeksi seharusnya juga dilakukan dalam setiap hari, bahkan setiap waktu.
Sayyid Bilal Ahmad al-Bistani ar-Rifa’i al-Husaini, seorang sufi terkemuka dalam salah satu kitabnya mengatakan, sudah seharusnya umat Islam melakukan intropeksi sepanjang umurnya, maka ia harus berpikir tentang apa yang akan dilakukan pada pagi, siang, sore, hingga malam hari, sebagaimana yang beliau katakan,
فَتَفَكَّرْ فِيْمَا صَنَعْتَ، فَاِنْ وَجَدْتَ طَاعَةً فَاشْكُرْ اللهَ، وَاِنْ وَجَدْتَ مَعْصِيَةً فَوَبِّخْ نَفْسَكَ
Artinya, “(Maka berpikir [merenung]lah atas apa yang kamu kerjakan, apabila engkau menemukan ketaatan (dalam pekerjaan itu), maka bersyukurlah kepada Allah, dan apabila engkau menemukan maksiat (di dalamnya) maka celalah dirimu.
(Sayyid Bilal, Farhatun Nufus bi Syarhi Tajil ‘Arus al-Hawi li Tahzibin Nufus, [ Beirut, Darul Kutub ‘Ilmiah, cetakan kedua: 2015 M], halaman 17).
Dari penjelasan di atas, merayakan tahun baru dengan cara mengintropeksi diri atas segala pekerjaan dan perbuatan yang dilakukan selama satu tahun menjadi “perayaan” yang sangat penting dan tentunya juga sangat baik. Intropeksi tentunya harus dilakukan setiap waktu, yaitu setelah melakukan kesalahan sekecil apapun dan setiap kali menyelesaikan amal kebajikan. Tentu tidak perlu menunggu satu tahun, apalagi menunggu adanya acara intropeksi tahunan. Kenapa demikian? Sebab karakteristik waktu adalah berjalan begitu cepat tanpa manusia sadari ternyata sudah ada di penghujung tahun untuk menggantikan lembaran-lembaran lama menjadi lembaran baru.
Hal ini sebagaimana diafirmasi oleh Allah swt dalam Al-Qur’an,
كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا
Artinya, “Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari.” (Surat An-Nazi’at ayat 46).
Dari beberapa ulasan di atas, apabila kita korelasikan dengan beberapa kenyataan yang terjadi di Indonesia, banyaknya tragedi dan musibah yang kerap terjadi merupakan iktibar (renungan) untuk menjadikan tahun-tahun selanjutnya dijalani dengan penuh kehati-hatian, serta mempersiapkan cara yang tepat, efisien, dan lebih bermanfaat. Dengan cara itulah seseorang akan bisa memanfaatkan tahun baru yang akan datang. Sebab, jika tidak demikian, akan dimanfaatkan oleh waktu yang ada dalam tahun itu sendiri, sebagaimana dalam salah satu kalam bijak bestari, yang dikutip oleh Imam Al-Manawi,
اَلْوَقْتُ كَالسَّيْفِ إِذَا لَمْ تَقْطَعْهُ قَطَعَكَ
Artinya, “Waktu adalah pedang. Jika kau tidak (pandai) memainkannya, maka ia akan memotongmu.” (Imam Al-Manawi, Faidhul Qadir, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah, cetakan pertama: 1994 M\1415 H], juz IV, halaman 670).
Pada kalam hikmah di atas, jika dalam tahun mendatang seseorang tidak menggunakannya dengan hal-hal positif, seperti ibadah dan kebajikan lainnya, maka tahun itu sendiri akan menggunakan seseorang untuk memperlakukannya terhadap hal-hal yang negatif. Tentu, dalam poin kedua merupakan pekerjakan yang tidak diinginkan oleh semua orang, termasuk penulis. Sebab, di antara kerugian yang sangat besar, adalah lewatnya hari-hari, bahkan sampai satu tahun tanpa manfaat yang dapat didapatkan di dalamnya. Ungkapan di atas sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab bin Hasan As-Sulami Al-Baghdadi Ad-Dimisyqi (wafat 795 H),
أَلَيْسَ مِنْ الْخُسْرَانِ أَنَّ لياليا *** تمرُ بِلا نَفْعٍ وَتُحْسَبُ مِنْ عُمْرِي
Artinya, “Bukankah termasuk kerugian, bila malam-malam berlalu tanpa ada manfaat padahal juga dihitung (jatah) umurku?” (Ibnu Rajab, Ghada’ul Albab Syarah Manzumatil Adab, [Dar Ibnu Hazm lit Thab’ah wan Nasyr, cetakan pertama: 2004], juz II, halaman 348).
Dengan penjelasan di atas, semoga kita bisa memanfaatkan tahun baru yang sebentar lagi akan datang dan mampu menempuh satu tahun ke depan dengan pekerjaan-pekerjaan baik dan positif, serta bisa mengambil manfaat di dalamnya. Amin!
Di kutip dari Ustadz Sunnatullah, pengajar pada Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.